Majelis Hakim Minta Oditur Hadirkan BPN

Majelis Hakim Minta Oditur Hadirkan BPN

JAKARTA, SATUUMAT.COM — Majelis Hakim Minta Oditur Hadirkan BPN. Permintaan ini disampaikan Mejelis Hakim pada Sidang Kriminalisasi terhadap Kolonel Inf. (Purn.) Eka Yogaswara di Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta, Kamis (21/8/2025). Kasus kriminalisasi ini, sebetulnya buntut dari kasus perdata yang belum selesai secara sempurna atas lahan di Jalan Tendean 41.

Sidang kriminalisasi ini, dipimpin Kolonel Kum Siti Mulyaningsih SH MH sebagai Ketua Majelis Hakim. Eka Yogaswara, didakwa oleh Oditur Militer Tinggi, atas laporan Tessa Elya Andriana Wahyudi, selaku Legal Manager BUMN PT PFN, dengan tuduhan telah menyerobot lahan dan memasuki lahan tanpa izin dengan dasar kepemilikan Sertifikat Hak Pakai Sementara atas nama Departemen Penerangan.

Padahal, Eka Yogaswara merupakan salah satu ahli waris Bek Musa yang memiliki lahan di Jalan Tendean 41 berdasarkan surat girik sebagai bukti kepemilikan lahan. Di Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta, Oditur militer mendakwa Eka melanggar Pasal 385 ayat (1) dan Pasal 167 (1) KUHP.

Dalam sidang sebelumnya,  Dr Nahrowi SH MH, Ahli Hukum Agraria Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah mengungkapkan, Hak Pakai Sementara Bukanlah Bukti Kepemilikan Lahan. Artinya, sertifikat itu sendiri belum sepenuhnya memenuhi data yuridisnya. Misal tentang lokasi persis lahan, pengukuran dan sebagainya.

“Itu harus dipenuhi dulu, agar bisa menjadi Sertifikat Hak Pakai. Tapi yang jelas, Sertifikat Hak Pakai itu bukan alat bukti kepemilikan. Hak Pakai itu definisinya hak untuk menggunakan, memungut hasil, dan memanfaatkan,” ujarnya.

Nahrowi mengatakan, ahli waris yang lebih dulu menguasai fisik lahan tersebut, dan apalagi sudah lebih dari 20 tahun, maka jadi sangat aneh jika ada ahli waris yang dituduh menyerobot lahan. Apalagi, jika unsur penyerobotan itu tidak ada.

“Ketika masuk tidak ada yang mengusir, tidak melompat pagar, tidak merusak pintu dan sebagainya dan itu bukan tindak pidana. Jadi memang sangat aneh jika kemudian ahli waris yang memiliki alat bukti bisa dituduh memasuki lahan orang lain, dan menyerobot,” ujar Nahrowi.

Heran

Hakim Ketua pun sempat heran dengan keterangan Tessa yang hanya berpegangan pada Sertifikat Hak Pakai Sementara itu, dan tidak dapat memperlihatkan bukti pendukung lainnya. Termasuk, surat janji bayar yang pernah dibuat oleh Deppen pada ahli waris tahun 1986 senilai Rp 400.000,- permeter.

Namun menurut Eka, hingga kini semua ahli waris tidak pernah menerima penggantian tersebut. Selain itu, Eka dalam sidang juga menjelaskan bahwa ahli waris pernah menerima ganti rugi atas penggusuran sebagian lahan tersebut dari Pemprov DKI Jakarta ketika lahannya digunakan untuk pelebaran jalan Tendean Jakarta.

“Itu artinya, negara mengakui keberadaan ahli waris. Bagaimana mungkin bisa dikatakan sebagai ahli waris, yang mengelola lahan warisan kakek bisa dikatakan memasuki lahan orang lain,” ujarnya.

Putus Bebas

Ahli Hukum Pidana dari Universitas Islam Negeri Syarief Hidayatullah Jakarta yang dihadirkan dalam sidang sebelumnya, Dr Afrizal SH MH yakin jika Eka akan diputus bebas. Di dalam keterangannya di persidangan itu, Afrizal menegaskan, perkara yang ditanyakan secara umum oleh pembela memenuhi unsur nebis in idem.

Menurutnya, pasal 76 KUHP menyebutkan, nebis in idem itu, seseorang tidak boleh dituntut untuk kedua kalinya dalam kasus yang sama. Dituntut itu baik peradilan swapraja, peradilan adat, maupun peradilan nasional. Terhadap obyek yang sama, terhadap subyek yang sama, dan perkara itu sudah pernah diadili, serta telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

“Jadi meskipun pasal yang disangkakan berbeda, jika perkaranya sama, obyek hukum dan terdakwanya sama, itu nebis in idem. Jika ini yang terjadi, maka tidak ada pilihan lain kecuali pengadilan pidana ini memutus bebas pada tersangka,” ujarnya saat ditemui seusai sidang.

Selain itu, Afrizal juga mengatakan, adanya batasan daluwarsa sesuai pasar 78 KUHP, lewat waktu mulai pada saat perbuatan itu dilakukan. Waktunya satu tahun apabila ancaman hukum lewat satu tahun. Apabila ancaman hukum tidak lebih dari tiga tahun, itu enam tahun. Untuk kejahatan dengan ancaman pidana lebih dari tiga tahun itu, daluwarsanya dua belas tahun. Dan daluwarsa 18 tahun, untuk kejahatan dengan ancaman hukum matu atau penjara seumur hidup.

“Maka kedua pasal ini, kalau dikaitkan dengan pasal 167 dan pasal 385 yang didakwakan, maka menurut pendapat saya, itu unsur-unsurnya tidak terpenuhi. Maka mudah-mudahan terdakwa diputus bebas,” ujarnya dengan penuh keyakinan.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Review Your Cart
0
Add Coupon Code
Subtotal